Kartini

…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” –  Kartini –

Membedakan perempuan dari kehadiran kaum lelaki adalah teori terbalik ketika dua jenis manusia itu hidup dalam satu keyakinan tentang adanya nilai kemanusiaan dalam kehidupan. Feminism , sebuah gerakan pemikiran, di mana keterlibatan kaum perempuan harus mengejawantah dalam realitas. Gerakannya , terlepas dari dicaci dan tidaknya oleh sebagian kelompok seperti air meluap, membanjiri jalan kehidupan yang dimulai dari cara berpikir manusia, terutama di era reformasi abad ke 16. Monism, pengeliminasian penyatuan antara lelaki dan perempuan harus dikaji ulang dan diterjemahkan kembali.

Tuntutan yang lahir dari era reformasi abad ke 16, melahirkan satu pandangan yang dianggap serba baru, dimana eksistensi kaum perempuan mulai dihadirkan dalam ranah pemikiran. Keterlambatan ini , jika diukur dengan betapa telah jauhnya perjalanan kehidupan manusia- pengakuan terhadap kehadiran perempuan sebagai salah satu entitas kehidupan dalam konsili, kongres, dan konfrensi dipengaruhi besar oleh penafsiran tidak tepat terhadap ayat-ayat Tuhan. Apa yang diwahyukan oleh Tuhan, sebetulnya tidak seperti itu penafsirannya.

Sejarah tentang kecurigaan terhadap sepak terjang perempuan diawali sejak manusia dilahirkan dalam sejarah manusia itu sendiri. Kaum evolusionis membantah adanya penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Wahyu-wahyu Tuhan tentang dipindahkannya Adam dari sorga ditafsirkan sebagai ulah tidak kuatnya Hawa dalam menghadapi bujukan Iblis, untuk mendekati pohon Larangan. Maka, dosa pertama telah lahir dari rahim kehalusan perasaan kaum perempuan. Dan di balik semua itu, adalah rahasia dari Tuhan sendiri.

Pandangan ini telah mendorong gerakan baru dalam sejarah manusia. Ketika pemikiran dan pola hidup masih sederhana, pandangan terhadap kaum perempuan sebagai para kolabolator, kelompok pesekongkol dengan Iblis membumi pada satu sudut: perempuan masih dipertanyakan, apakah layak dikatakan sebagai manusia? Maka maskulinitas, arogansi kesewenang-wenangan kaum lelaki dengan mengatasnamakan Dewa  terhadap perempuan menjadi fakta sejarah tentang masih absurdnya penilaian terhadap perempuan.

Agamawan-agawaman zaman dulu, menjadikan alasan tentang hadirnya maskulinitas dalam diri para Dewa. Tudingan ini pun dialamatkan kepada: Kata Tuhan sendiri merupakan bentuk Maskulin. Kehadiran wanita semakin tersudutkan, alih-alih dipandang sebagai karib, ibarat tangan kana dengan tangan kiri, para wanita ditempatkan pada keharusan untuk mengabdi kepada kaum lelaki. Adanya bencana alam, diartikan dan dibahasakan kembali oleh para tokoh Agama, Dewa sedang murka, dan untuk meredakan kemurkaan dewa tersebut, perempuan dipilih sebagai tumbal.

Dan adalah sebuah keanehan, ketika perempuan masih dimarjinalkan seperti itu, toh.. tokoh-tokoh besar dunia, bahkan para nabi dan rosul pun dilahirkan dari rahim perempuan. Sementara, meskipun realitasnya seperti itu, sejarah kemanusiaa tentang hebatnya penjajahan terhadap kaum perempuan oleh kekasaran logika kaum lelaki memenuhi buku-buku kehidupan dari awal hingga entah sampai kapan.

Yang menjadi sasaran cemoohan adalah; betapa lemahnya ayat-ayat Tuhan dalam membela kepentingan kaum perempuan. Reformasi abad ke-16 sampai lahirnya era pencerahan selalu mempertanyakan ini, apakah ayat-ayat Tuhan seperti ini memang keluar dari Tuhan, merupakan bisikan Tuhan, atau hanya sekedar senjata bagi kaum agamawan jahat dalam mengkampanyekan harus ditempatkannya kaum perempuan di bawah telapak kaki para lelaki.  Rasa keadilan seolah tidak ditemukan oleh para pemikir , kaum rasioalis, dalam mencerna ayat-ayat Tuhan ketika menceritakan kaum perempuan.

Dan ini merupakan kecendrungan betapa sering tidak objektifnya para pemikir (kaum maskulin) yang meneliti ayat-ayat Tuhan tersebut, lantas mereka menyatakan, harus adanya persamaan derajat manusia. Kisah tentang Maria Magdalena diperdebatkan oleh kaum feminis-maskulin, para tokoh lelaki yang melahirkan ide-ide feminism- perempuan bernama Maria Magdalena sebagai seorang Murid Yesus adalah perempuan pendosa,telah melakukan perbuatan zinah, dan dirinya dikuasai oleh 7 setan. Ini ditafsirkan, wanita harus dibebaskan pada tuduhan-tuduhan seperti itu, apalagi tuduhan-tuduhan seperti ini disimpan dengan rapi dalam Kitab Suci, wahyu Tuhan. Ditentang, namun secara tidak nyata para kaum feminis-maskulin tersebut berusaha menempatkan kembali sikap egosentris kejantanannya di atas kelembutan hati perempuan.

Quran tidak mengisahkan tentang ketertindasan perempuan ini secara detil, keumuman dalam menngisahkan sejarah dalam Kitab ini bisa dipandang sebagai, nilai dari zaman ke zaman akan tetap sama. Manusia sebagai lelaki atau perempuan tidak dipandang dari jenisnya, kecuali dari keimanannya. Kaum feminis-maskulin menuding hal lain dari ayat Quran, tentang poligami, saat mereka melihat realitas terhadap maraknya poligami dilakukan oleh para penganut agama. Ini sama dengan menuding matematika sebagai ilmu sesat ketika kita melihat ribuan koruptor bisa menyulap angka-angka dalam RAB. Namun, bagi kaum feminis-maskulin ini merupakan senjata untuk menyerang, betapa agama dan nilai-nilai Tuhan pun member celah kepada kaum lelaki untuk menyakiti perempuan. Nah, celakanya, ketika pemikiran tentang anti poligami ini merebak, tidak sedikit para lelaki hidung belang telah mengacak-acak kehormatan kaum perempuan, perempuan disamakan dengan alat pemuas kebutuhan. Maka, poligami menjadi hal menakutkan bagi kaum perempuan ketika penafsiran terhadap ayat ini tidak tepat.

Emansipasi wanita menjadi jalan tengah dari pemikiran-pemikiran ini. Dimana, harkat dan martabat wanita harus dijunjung tinggi-tinggi, seperti kata kartini, Agama selalu dijadikan alat oleh kaum lelaki untuk berbuat dosa. Berpoligami merupakan pembunuhan  rasa terhadap cinta kasih ketika diartikan secara salah. Saat sejarah tentang Raja Solomon memiliki seratus Istri, dan Rasulullah memiliki beberapa Istri, dituding sebagai “upaya agama untuk melegalkan dan melembagakan dalam merusak ikatan kasih sayang”. Padahal tidak seperti itu, jika sejarah dikaji dengan jujur. Ada juga, alasan  tentang perbandingan jumlah lelaki dan perempuan ternyata didominasi oleh perempuan, agama pun dijadikan alasan, “inilah makanya, Islam membolehkan poligami!”, sungguh merupakan penafsiran tidak tepat jika ayat poligami dijadikan jawaban terhadap komposisi yang tidak berimbang antara kaum lelaki dan perempuan.

Kartini melahirkan ide-ide persamaan derajat kaum perempuan, saat lingkungan social, dimana budaya keratonisme sangat kental mewarnai kuatnya budaya patriarki yang menempatkan wanita sebagai manusia namun berperan sebagai abdi kepada kaum lelaki.

Mungkin timbul pertanyaan, lalau yang benar yang mana? Bagi Saya, kebenaran terhadap cara pandang kita terhadap kaum perempuan, ada di dalam cinta dan sayang kita kepada Ibu kita, istri kita, dan anak perempuan kita. Sayangilah anugrah terbesar dan pemberian Tuhan kepada kita sebagai kaum lelaki, yaitu ibu, istri, dan anak perempuan, maka kita telah berada di pihak yang benar. Hormatilah perempuan, maka kita telah menghormati Ibu kita sendiri.

Apakah adanya emansipasi ini salah dan telah menempatkan perempuan-perempuan modern berada pada pabrik-pabrik? Begitu sederhana sekali, ini berbanding lurus dengan semakin runtuhnya nilai-nilai kejujuran, ketekunan, dan kemauan keras kaum lelaki. Jangan salahkan, kapitalisme telah berani memenpatkan kaum perempuan pada tempat yang tidak seharusnya ditempati, karena kecerobohan kaum lelaki. Maka, tangisan perempuan pun sudah tidak akan ditakuti lagi oleh para lelaki. Karena apa? Cinta telah tercabut dari jiwa manusia, hubungan antara lelaki perempuan, telah distandarkan sebatas pada hubungan mesin, saling mendukung tetapi berada pada tempat yang terpisah. Dunia tampil menjadi semakin kelam…

Dan Kartini meninggal di usia 25 tahun, di masa muda. [ ]

Saran